Pendidikan adalah kebutuhan setiap keluarga bagi putra-putrinya. Masa depan dan keberhasilan mereka ditentukan oleh pendidikan yang diberikan orang tuanya, baik pendidikan agama (ukhrowi) maupun pendidikan umum (duniawi). Kita prihatin ternyata banyak sekali anak-anak di lingkungan kita yang dididik seadanya. Karena kemampuan ekonomi yang terbatas, pendidikan bagi sebagian mereka adalah sesuatu yang expensive dan butuh biaya yang besar. Mulai dari uang registrasi, uang gedung yang jumlahnya jutaan rupiah tentulah hanya sebatas angan-angan belaka. Ditambah lagi untuk biaya pakaian seragam, buku-buku, alat tulis dsb yang jumlahnya tidak sedikit.
Hal tersebut membuat banyak orang tua frustrasi karena tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka di pendidikan formal. Akhirnya memasukkan anak-anak mereka ke pesantren sebagai Calon Kiriman Mubaligh (CKM) adalah alternative satu-satunya mengingat financial factor karena dibiayai oleh sodaqoh jamaahnya (sabilillah) dengan pertimbangan “daripada tidak sekolah”. Sampai disini sementara masalah selesai karena tanggung jawab orang tua sudah beralih ke sabilillah. Si anak sudah diurus oleh pondok pesantren.
Kendala mulai timbul tatkala mereka menuntut ilmu di pondok, menerima kajian dan kemangkulan dari guru mereka. Siswa yang pernah mengenyam pendidikan minimal SLTA tentu berbeda daya tangkap dan pola pikirnya dengan siswa yang hanya tamat SLTP atau SD, apalagi yang SD Tak Tamat (SDTT). Mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan dasar tentu akan mengalami kendala dalam menghadapi permasalahan dibandingkan dengan siswa yang berpendidikan. Akhirnya mereka tercetak menjadi mubaligh / mubalighot dengan kualitas “mbahmanan”.
Permasalahan baru pun timbul. Di tempat tugas yang baru, mereka akan kesulitan berinteraksi dengan para jamaahnya yang memiliki tingkat pendidikan dan intelektualitas yang tinggi. Mereka juga akan kesulitan menghadapi berbagai macam pertanyaan-pertanyaan dari para jamaahnya yang terkadang membutuhkan penjelasan yang rasional dan jelas. Rasa minder dan rendah diri semakin memperparah keadaan dan dampaknya mereka akan tumbuh menjadi manusia yang pasif, berjiwa kerdil, tidak kreatif dan hanya menunggu instruksi. Kehidupan dunia mereka pun, rata-rata sangat memprihatinkan karena mereka tidak mampu bersaing dalam dunia nyata. Mau kerja tidak punya pendidikan, mau usaha tidak menguasai ilmunya. Lantas mau bagaimana?
Sementara tak sedikit jumlahnya dari mereka wanita (mubalighot) yang kurang berpendidikan dalam penugasannya akhirnya memilih untuk segera menikah atau dijadikan istri kedua. Tugas mereka pun tuntas sebelum waktunya. Itupun masih syukur karena mereka berhasil menjadi mubalighot.
Lalu bagaimana dengan anak-anak yang tidak bersekolah, disuruh mondok di pesantren tidak mau. Kerjanya hanya nongkrong, kluyuran dan bergaul dengan anak-anak yang nakal. Mereka mencoba-coba merokok, akhirnya minum minuman keras, pil koplo dan narkoba. Padahal tidak sedikit orang tua mereka yang mempunyai dapukan di dalam kepengurusan masjid atau pondok, tapi anak mereka sendiri tidak terurus. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang tempat tinggalnya di kompleks masjid, di lingkungan pondok pesantren, tapi masih bisa terpengaruh narkoba.
Inilah realita permasalahan yang ada dalam lingkungan kita. Apakah kita diam saja menyikapinya? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar